Oleh: Nugroho Agung Prasetiyo
(Praktisi Komunikasi Media)
Dengan lelucon, kita bisa sejenak melupakan kesulitan hidup. Dengan humor, pikiran kita menjadi sehat. Lelucon penuh makna dan Gus Dur seakan sudah melekat dan saling menguatkan dikenal publik. Sebagai tokoh agama dan bangsa, cucu dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hasyim Asyari itu sering mengkomunikasi pesan berupa kritik maupun otokritik terhadap persoalan kebangsaan melalui leluconnya.
Belakangan lelucon-lelucon tersebut seperti hilang ditelan ketegangan di antara kita. padahal sejatinya canda ringan yang menghadirkan makna begitu dibutuhkan untuk menetralisir polarisasi perbedaan yang sudah terasa sangat akut. Perbedaan pandangan politik yang terjadi pada masa kini ternyata sudah terinternalisasi di setiap lini kehidupan kita. Akibatnya, semua pihak menjadi sangat sensitif dalam menyikapi perbedaan, bahkan ketika hal tersebut dihidupkan dalam konteks canda.
Perbedaan adalah keniscayaan dalam kehidupan manusia. Tapi, semua itu masih sebatas jargon dalam realitas sosial masa kini. Ironis sekali ketika semua pihak menjadi sangat mudah untuk membawa persoalannya ke ranah hukum. Apapun masalahnya, mulai dari yang serius hingga sekadar candaan, beberapa di antaranya menjadi dimungkinkan berujung pada bentuk laporan pengaduan (LP) di kepolisian.
Singkatnya, prihatin sekali ketika hanya karena perbedaan pandangan kita seperti sudah kehilangan selera humor. Semuanya sudah menjadi sangat kaku. Salah berucap di ruang publik maupun private sekalipun atau salah menggunakan jempol dalam bersosial media, maka siap-siap saja mendapatkan respon keras, bahkan bisa jadi dalam bentuk panggilan pihak yang berwajib. Sulitnya untuk beberapa persoalan aparat penegak hukum kita menjadi seperti serba salah menyikapi kecenderungan yang menjadi begitu sensitif dalam keseharian.
Masih ingat dengan insiden pemeriksaan yang dialami oleh seorang warga asal Kepulauan Sura, Maluku Utara, akibat menyentil sikap kepolisian dengan kelakar ala Gus Dur, sekitar Juni tahun lalu? Atau, ingat juga dengan laporan pengaduan Forum Anak Belawan Bersatu yang mengadukan seorang komika gara-gara guyonan di acara stand up comedy yang dinilai melakukan ujaran kebencian?
Semua contoh itu, sejatinya menunjukkan bahwa kehidupan sekarang ini sudah begitu daruratnya kehilangan rasa humornya. Kita sudah tak mampu lagi tertawa sejenak melihat ‘ke dalam’ atau sekadar menertawakan diri sendiri. Padahal, inilah yang dibutuhkan di tengah berbagai kesulitan saat sekarang. Komunikasi humor yang mampu memberikan value untuk menambah imunitas tubuh, serta menyegarkan pikiran kita.
Ketika ekonomi semakin sulit akibat pandemi Covid-19, maka ‘menghidupkan’ hidup secara jenaka menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan. Riset tentang kesehatan sudah banyak yang menunjukkan bahwa dengan tertawa lepas maka kesehatan fisik dan mental akan bisa meningkat. Lalu ketika tertawa dan bersikap ceria maka imunitas tubuh pun akan semakin baik.
Literasi yang rendah
Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, kehidupan kita sekarang ini menjadi seperti kehilangan selera humor dan kejenakaannya. Bahkan, beberapa pejabat publik menjadi nyaris terjebak dalam sebuah kehidupan seriusnya karena harus memikirkan bentuk rasi penuh pencitraannya di ruang publik. Kalaupun tersenyum, maka semuanya harus ‘diatur’ untuk memperkuat citra diri atau brand personality. Di sisi lain, netizen seperti menanti setiap komentar gurauan figur publik tersebut sebagai “peluru” mengangkat persoalan menjadi sesuatu yang harus menjadi perhatian yang serius. Padahal guyonan otokritik sekalipun sejatinya cukup disikapi dengan renungan santai, atau bahkan cukup dengan senyuman rileks saja.
Mengapa situasi ini bisa terjadi? Selain minimnya kemampuan kita dalam memahami cara berkomunikasi ala Gus Dur, rendahnya literasi masyarakat menjadi salah satu penyebabnya. Riset yang pernah dilakukan oleh Central Connecticut State University mengungkapkan bahwa literasi pustaka di Indonesia berada di tingkat kedua terbawah dari 61 negara.
Literasi ini dapat diartikan sebagai kegiatan membaca dan menulis. Dari membiasakan diri membaca dan menulis inilah maka pengetahuan akan didapat. Singkatnya, dengan literasi yang tinggi maka akan didapat pengetahuan yang luas. Lalu ketika pengetahuan semakin bertambah maka kemampuan untuk berpikir terbuka (open minded) seharusnya akan lebih mewarnai diri dalam interaksi kehidupan dan bersosialisasi sehari-harinya. Pada akhirnya, di sini menjadi lahir generasi yang semakin arif dan bijaksana dalam menyikapi komunikasi canda dengan value yang muncul di ruang publik.
Kelakar yang bernilai mungkin bisa jadi hanya dimiliki individu-individu dan dapat diterima oleh pemilik kecerdasan di atas rata-rata. Untuk bisa menyampaikan dan menerima humor atau kejenakaan dibutuhkan kemampuan kognitif dan emosional yang seimbang. Sejumlah riset telah membuktikan bahwa orang-orang berselera humor tinggi itu rata-rata memiliki tingkat kecerdasan (Intelligence Quotients/IQ) yang tinggi pula. Artinya, di sini terlihat adanya korelasi yang kuat antara tingkat literasi, kemampuan merespons informasi dan selera humor.
Ramadhan dan pandemi
Kolaborasi kecerdasan dan selera humor inilah yang sesungguhnya dibutuhkan oleh Indonesia pada masa kini dan yang akan datang. Momentum pandemi Covid-19 dan mendekatnya masa Ramadhan, harusnya bisa menjadi stimulus untuk membuat kita semua mampu mengasah pikiran menjadi lebih jernih dengan memberikannya warna penuh kejenakaan.
Semua perubahan itu tentunya tidak bisa dilakukan secara instan. Perlu adanya pembelajaran dan dukungan dari semua pihak. Dari sisi kreator — pesan-pesan yang dibentuk dan disampaikan itu idealnya tak lagi berorientasi pada pembentukan citra diri semata, namun juga harus memberikan inspirasi yang menyegarkan dan menghilangkan kekakuan hidup.
Lalu hal yang sama harusnya dilakukan juga oleh media. Sebagai saluran penyampai pesan, media jangan hanya terjebak pada pragmatisme ekonomis yang mengejar rating atau jumlah viewer tinggi tapi mengabaikan perannya melakukan edukasi kepada publik. Secara ideal, media harusnya mampu menyampaikan pesan-pesan positif dan edukatif. Pesan itu tentunya bisa disampaikan secara ringan dengan kemasan berselera humor yang tidak sekadar membuat publik terhibur tapi juga menjadi belajar dalam menyikapi perbedaan.
Inilah yang dibutuhkan oleh publik. Di ruang virtual, kita punya modal besar dengan kekuatan yang dikenal netizens +62 atau warga dunia maya asal Indonesia. Kekuatan penggerak netizen +62 di dunia maya harusnya bisa menjadi modal melakukan perubahan, bukan melekatkannya pada stigma negatif sebagai warga yang mudah marah dan tidak memiliki sopan santun. Padahal secara ironis, dalam kehidupan nyata, sikap murah senyum dan santun itu pernah menjadi kearifan budaya yang dimiliki negeri ini.
Sekali lagi, marilah kita mulai belajar hidup untuk banyak berjenaka sambil belajar menertawakan diri sendiri. Ketika kita mampu menertawakan hidup yang sedang sulit seperti sekarang maka perilaku kita yang sebelumnya mudah marah diharapkan akan mampu susut secara perlahan.
Tak lupa juga, ketika merespons guyonan, maka bersikaplah dengan cara berpikir yang open minded untuk menerima adanya perbedaan. Mengapa? Karena kemampuan menerima perbedaan dan bisa tertawa itu adalah anugerah buat orang-orang yang masih berpikir waras saja.
Jadi, sudikah kita kalau masih dituding sebagai pribadi dan bangsa yang kurang waras? Sekali lagi, marilah tertawa sebelum tertawa itu benar-benar bisa terlarang di negeri ini. Ingat, mari banyak-banyak kita tertawa, bukannya mencibir satire!